Ragam Daerah


Rumah Adat Minangkabau

Rumah Adat Minangkabau

Rumah adat Minangkabau dikenal dengan nama rumah gadang, tetapi sering pula masyarakatnya menyebutnya rumah bagonjong. Dinamakan rumah gadang karena ukurannya memang lebih besar dari rumah biasa. Dinamakan rumah bagonjong karena atapnya bergonjong-gonjong.

Orang-orang yang berasal dari satu kandungan sampai dengan keturunan ketiga secara teori dapat ditampung dalam satu rumah gadang. Mereka yang tinggal di rumah itu adalah kaum perempuan dan anak laki-laki yang belum akil balig. Laki-laki dewasa dibuatkan rumah pambujang dan setelah masuk Islam tinggal di surau. Para suami dari kaum perempuan hanya tinggal di situ pada malam hari. Penanggung jawab atas satu kaum yang menempati rumah ini adalah tungganai atau mamak.

Rumah gadang sebagai rumah adat karena di sanalah upacara adat dilaksanakan. Misalnya, penobatan penghulu kaum yang bergelar datuk, tempat musyawarah untuk membicarakan permasalahan kaum, penyelenggaraan acara kelahiran, kematian, dan perkawinan.

Rumah gadang sebagai tempat tinggal memiliki ukuran tergantung banyaknya penghuni di rumah itu. Jumlah ruangannya biasanya ganjil, seperti  5, 7, 9, dan bahkan ada yang lebih. Perbandingan kamar tidur dengan ruangan umum adalah 1/3 untuk kamar tidur dan 2/3 untuk kepentingan umum. Makna perbandingan menunjukkan bahwa kepentingan umum lebih diutamakan dari kepentingan pribadi.

Bentuk rumah gadang berbentuk kapal, dimana badan rumahnya mengembang ke atas. Rumah gadang merupakan rumah panggung  yang disangga oleh tiang hingga kolongnya setinggi orang dewasa. Tiang ini terbuat dari kayu bersegi delapan dan ditegakkan pada batu sendi agar tidak mudah lapuk. Ukuran badan rumah lebih tinggi dari kolong. Bangun atapnya lebih besar dari badan rumah. Jadi, semakin tinggi bagian rumahnya semakin besar ukurannya. Tangga masuk berada di tengah dan merupakan serambi depan. Jumlah anak tangganya biasanya ganjil bisa 5, 7, atau 9. Ada juga yang membuat tangga di ujung yang merupakan jalan masuk ke dapur.

Antara tiang dengan tiang membujur dan melintang dihubungkan dengan rasuk pelancar. Rasuk melintang melalui pahatan pada tiang, bahannya adalah ruyung batang kelapa atau dari kayu hutan yang keras. Pahatannya sekitar 2 m dari dasar atau sendi. Pahatan tiang yang sama tingginya pada setiap tiang adalah pahatan untuk rasuk pelancar. Rasuk melintang ditopang dengan ruyung yang sama tebalnya dengan rasuk melintang hingga mengenai tinggi pahatan rasuk pelancar.

Panjang dan lebar rumah ditentukan dengan labuh (jalur) dan yang biasa dijadikan ukuran adalah hasta atau depa. Lebar ruang atau labuh (jarak antara tiang menurut lebar dan panjang) sekitar 2,5 m sampai 4 m. Panjang rumah sekurang-kurangnya 3 ruang dan bahkan ada yang sampai 21 ruang, yang normal 3,7,9 ruang. Sedangkan lebarnya sekurang-kurangnya 3 jalur dan sebanyak-banyaknya 4 jalur. Jalur atau labuh memanjang rumah. Jalur pertama dari muka disebut bandua. Jalur kedua disebut labuah gajah. Jalur ketiga disebut labuah tangah. Jalur keempat disebut biliak. Ruangan terletak pada potongan rumah menurut lebar rumah. Satu ruang di tengah dinamakan gajah maharam. Dua ruang di kiri disebut sarambi papek dan dua ruang di kanan disebut raja berbanding. Pada ujung kiri dan kanan ada anjungan yang terdiri dari dua atau tiga tingkat. Anjung merupakan tangga yang terletak pada tengah bagian lebar rumah.

Bagian depan dinding dipenuhi ukiran bermotif akar, bunga, daun, serta bidang bersegi empat dan genjang. Lantainya terbuat dari kayu atau bilahan bambu. Lazimnya rumah adat ini dibangun berjajar pada halaman yang tidak berpagar. Letaknya disesuaikan menurut arah angin, agar bidang bangunannya yang lebar tidak menghadang tiupan angin.

Atap rumah terbuat dari ijuk yang disusun di atas kap pada paran melengkung. Kapnya dibuat berpucuk (bagonjong), jumlahnya paling kurang empat buah yang membagi panjang rumah. Pada ujung kanan dan kiri ruangan rumah juga ada tambahan gonjong sehingga jumlahnya adalah enam. Satu lagi gonjong di tengah di atas serambi yang menyatu dengan gonjong tangga.

Alam Minangkabau rawan gempa, bangun rumah dibesarkan ke atas agar tidak mudah rebah oleh goncangan. Supaya penghuni tidak kegerahan dengan hawa khatulistiwa, rumah dibangun di atas tiang yang tinggi. Dengan demikian, angin dapat masuk dari bawah lantai. Atap ijuk dipasang berlapis-lapis dan curam agar tidak menyerap air hujan.

Di halaman rumah terdapat rangkiang atau lumbung padi. Bentuk bangunannya selaras dengan rumah adat. Ada tiga macam rangkiang. Rangkiang si bayau-bayau adalah rangkiang besar dengan enam tiang penyangga untuk menyimpan padi yang dimakan sehari-hari. Rangkiang si tanggung lapar untuk menyimpan padi waktu paceklik. Rangkiang si tinjau laut untuk menyimpan jadi yang akan ditukar dengan barang-barang perdagangan.

Sumber : KSU Pointer

2 Tanggapan to “Ragam Daerah”

  1. florence lathifa aulia November 15, 2009 pada 11:35 pm #

    wua…..h buagus bgt rumah nya.Tapi sayang ya hancur gara-gara gempa.

  2. yong November 17, 2009 pada 8:13 am #

    Walaupun gempa bumi melanda sumatera Barat sekitarnya dan Kota Padang khususnya…namum Rumah Adat (Rumah Bagonjong) masih kokoh berdiri. Karena telah dirancang untuk tahan terhadap gempa bumi…

Tinggalkan komentar